Rabu, 22 Agustus 2012

Naruni

“Hei! Tatap mataku dan katakan jika memang kau tidak mencintaiku lagi”.
“Aku tidak mencintaimu lagi!” Sambil menatap tajam mataku.
“Enyahlah kau dari hadapanku!”
“Ya, itu mauku! Dan asal kau tahu, aku telah memiliki pacar baru yang lebih darimu dari segi apapun.”
“Aku tak peduli, kita lihat saja nanti bagaimana aku!”
“Aku tahu bagaimana kau nanti, pasti akan menangisiku berhari-hari kan?”
“Enak saja, siapa kau! Mulai detik ini perasaanku hilang untukmu!”
“Dan sejak saat bertemu Naruni, perasaanku memang tidak ada untuknya!”
“Kau jahat!”
“Yang penting aku sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan kau. Aku muak, sudah kubilang jangan terlalu mencintai aku!”
“Wajar, karena kau pacarku.”
“Tapi sekarang tidak lagi.”
“Baik, kalau itu mau kau, mengapa tidak enyah dari tadi!”
“Aku pergi! Selamat menangisiku!”
“Dasar bodoh!”

Suasana di tepi gang saat itu tiba-tiba menjadi kelabu, dan Robi pergi begitu saja. Aku berjalan menunduk menuju ke rumah sambil menggerutu. Pantas saja beberapa minggu ini dia tidak pernah mau menjemputku kuliah lagi, dia tidak mau mengangkat telepon dan membalas sms ku. Tidak ada waktu untukku sama sekali. Ternyata dia seperti ini. Dia bilang kalau selama ini tidak ada perasaan sama sekali untukku? Jadi apa artinya selama 3 bulan ini?! Dia jahat! Sama sekali tidak punya perasaan! Apa salahku? Memangnya dia siapa, mengira aku akan menangis karenanya. Dasar bodoh! Aku bisa tanpa dia, aku akan buktikan aku bisa berguna bagi nusa, bangsa, dan agama,loh?  hahaha. 

Hanya selang beberapa menit, aku pun telah berada di depan pintu rumahku. Aku masuk dan menutup pintu rapat-rapat. Kemudian masuk kamar dan mengunci pintunya. Aku muak, Aku langsung loncat ke kasurku dan tidur pulas.

Aku, si keras kepala dan tidak teguh pendirian. Memiliki keinginan kuat namun setengah matang. Melakukan semua hal diawali dengan semangat dan hampir selalu berhenti ditengah-tengah. Suka menunda-nunda pekerjaan, dan menganggap remeh semua hal. Seakan-akan dapat diselesaikan secara mudah. Tapi di sisi lain aku adalah gadis yang manis, baik dan pengertian. Aku suka menambah pengetahuan dengan membaca. Ya, sedikit gambaran watak dan sifatku yang sangat menyukai namaku sendiri, Naruni.


Pagi hari di kampus

“Aku putus.”
“Sudah kuduga, dari awal aku tidak menyukai Robi, sudah terlihat dia tidak mencintaimu. Lelaki kurus, tinggi, jangkung, berkaca mata seperti Superman nyasar!”

Sari terlihat senang menyambut hal ini. Rasanya aku ingin marah pada diriku sendiri, mengapa aku begitu bodoh sampai dibutakan cinta pada Robi, untungnya hubungan kami belum terlalu lama, hanya 3 bulan saja. Aku menyukai Robi karena dia tinggi, pintar, dan salah satu anak aktif di BEM Universitas kami. Namun semua itu tidak menentukan sifat seseorang. Awalnya dia perhatian dan baik kepadaku. Aku tak menyangka dia telah berbuat begini, atau mungkin dia cepat bosan? Ah, sudahlah, semua itu tak penting lagi, pikirku.

“Maaf Sari, seandainya aku pun melihat itu, takkan seperti ini jadinya”, dengan nada menyesal.
“Jangan disesali Naruni, mudah saja mencari lelaki seperti Robi, lagian masih ada si Wanto.”
“Kamu mengejekku? Aku tidak mau mencari, nanti juga datang sendiri.”
“Itu kan katamu, haha”, sembari merangkulku.
“Tertawa saja terus…” aku melepaskan tangan Sari dari pundakku dan pergi meninggalkannya menuju ke kantin.
“Hei, hei, tunggu aku!” Sari merangkulku kembali.

Sari adalah salah satu sahabatku yang kukenal sejak pertama menjadi seorang mahasiswi di Universitas di kotaku ini. Kemana-mana selalu ada aku dan Sari. Terkadang aku iri dengannya, dia yang memiliki tubuh  bagus, wajah cantik dan terlihat sempurna. Tetapi beberapa hal yang tidak kusukai darinya, dia teramat mudah menyukai lelaki, memiliki banyak pacar, dan moodnya cepat sekali berubah. Walau begitu aku tetap sayang dia sebagai sahabatku. J Kalau dibandingkan aku, aku jauh dengan Sari. Tapi tidak sedikit juga teman-temanku bilang kalau aku ini seorang gadis yang manis, meski perawakanku tidak terlalu tinggi, namun kulitku putih, badanku berisi dan sesuai jika memakai pakaian model apapun. 

Esoknya di Perpusatakaan Fakultas

Seperti biasa saat ada jam kosong aku memanfaatkannya untuk pergi ke perpustakaan. Menambah wawasan dengan membaca buku tentang kesusastraan sesuai dengan jurusanku, dan buku-buku ilmu lainnya. Disana Sari masih saja menggodaku soal pacar baru. Dia terus memintaku untuk segera mencari pacar. Aku tahu semua itu dilakukannya agar disetiap hari minggu aku tidak mengganggu waktu kencannya. Karena seperti pengalaman sebelumnya saat aku sedang single, aku selalu meminta Sari meluangkan waktu untuk datang ke rumahku di hari minggu. Namun walaupun begitu terkadang Sari selalu dengan senang hati memenuhi permintaanku. Dia sering datang ke rumah dengan tiba-tiba tanpa sepengetahuanku. Meski tidak setiap hari Minggu ia datang ke rumah.

“Naruni… ayolah cari pacar baru, atau mau kubagi pacarku?”
“Enak saja!" Sambil memalingkan muka. "Sudah kubilang aku tidak akan mencari, nanti juga datang sendiri. Kalau ada yang benar-benar mau denganku, menikah sekarang pun aku berani!”
“Kalau begitu terima saja si Wanto, dia kan tidak jelek-jelek amat, dia juga orang kaya.”
“Orang tuanya yang kaya, lagian aku tidak suka dia. Dia sombong dengan semua yang dimilikinya.”
“Wajar karena begitu kenyataanya, dia kaya. Tapi orang tuanya tidak korupsi toh? Dia kaya karena keturunan.”
“Ya sudah, kalau begitu kau saja yang menikah sama dia.”
Zzzzzttt… Zzzzzttt…
Tiba-tiba handphoneku bergetar karena panggilan masuk. Pembicaraan kami pun terhenti dan aku langsung mengangkat teleponnya.
 “Ya, hallo?”
Suara disana menyambut, “Adakah waktu jam 2 siang ini?”
“Siapa ya?”
“Aku Yusuf, Naruni. Adakah waktu jam 2 siang ini untukku?”
“Yu…Yusuf?”
“Iya, aku Yusuf. Kita pernah satu SMA dulu.”

Nama ini membuatku flashback  2 tahun lalu, dimana Yusuf adalah seseorang yang pernah aku sukai 3 tahun lamanya, semua itu berawal disaat ospek SMA. Hingga di tahun pertama sekolah, kelasnya bersebelahan dengan kelasku. Tidak pernah ada obrolan diantara kami, sekalipun bertegur sapa. Aku hanya tahu namanya dari temanku. Dan hanya  senyuman manis itu pula yang masih membekas dibenakku. Ya, si Yusuf lelaki idamanku di SMA dulu, kini tidak disangka-sangka meneleponku. Dan aku agak sedikit terpaku. Tersadar setelah Sari menepuk pundakku.

“Naruni? Siapa yang meneleponmu?”, dengan nada suara berbisik.

Aku tak hiraukan Sari dan segera melanjutkan pembicaraan melalui telepon dengan Yusuf. Sejenak aku berpikir, apalagi yang ingin kukatakan padanya.

“Kau mau menemuiku di dekat jembatan penyebrangan depan kampusmu?”
 “Baiklah, aku mau.” Aku menjawab dengan tegas tanpa berpikir lagi.
“Sampai nanti.”

Tut…tut…tut… Sambungan telepon pun terputus. Aku masih tak percaya hal ini, berani-beraninya ia datang lagi dikehidupanku setelah 2 tahun berlalu, dan aku telah nyaris melupakannya. Saat kulihat jam ditanganku, waktu menunjukkan satu jam lagi aku akan bertemu dengan Yusuf.

“Hei Naruni, kau kenapa? Seperti menerima telepon dari rentenir.” Tanya Sari heran.
“Aku tidak apa-apa Sari. Oh ya, jam 2 siang ini aku tidak bisa pulang bersama kau ya”, aku tersenyum lebar kepada Sari.
“Nah loh, ada apa ini? Kau tidak tersinggung dengan kata-kataku kan?”
Aku segera merangkul Sari, “Ya tidaklah, non. Bukan masalah itu sama sekali. Kau itu kan sahabat terbaikku.”
Kok wajahmu jadi merona seperti ini? Jangan-jangan…”

Sari mengira-ngira sesuatu tentangku. Dia menatapku curiga.

“Ssssttt, sudah diamlah, lihat itu Ibu Nurmi sudah melihat kita berdua.”
“Bisa saja kau mengalihkan pembicaraan, kasih tahu lah…”
“Nanti ada saatnya.”

Aku tersenyum padanya dan ia pun mengerti maksudku. Kami melanjutkan membaca dengan tenang.


Jam 2 siang, di dekat Jembatan Penyebrangan

Aku sedikit gugup, badanku panas dingin. Sudah semenit aku disini, berdiri tepat didekat tangga penyebrangan yang dimaksudkan di pembicaraan telepon tadi. Tidak lama kemudian ada yang menepuk pundakku.

“Sudah lamakah menunggu Naruni?”

Aku menoleh ke belakang, terlihat sosok Yusuf yang tinggi tegap, berperawakanan tenang. Wajahnya tidak berubah, hanya saja agak sedikit berjerawat  di pipi namun tetap terlihat manis.

“Kau Yusuf?”
“Iya, apa kabar Naruni, lama kita tidak bertemu kau makin manis.”
“Ah, yang benar. Kau tahu darimana nomor teleponku, dan sejak kapan kau tahu nama dan sosokku?”
“Seseorang yang memberi nomormu padaku lewat salah satu jejaring sosial. Dan aku tahu nama dan dirimu sejak SMA, saat aku tak sengaja pernah mendengar teman-temanmu memanggil namamu. Aku tidak pernah berani berkenalan denganmu dulu.”
“Dan sekarang mengapa kau  tiba-tiba mau meneleponku? Kita kan tidak pernah kenal, ya… meskipun dulu sempat satu SMA, tapi sekali pun kita tidak pernah kenal.”
“Baiklah, sekarang aku memperkenalkan diri. Hai namaku Yusuf, senang bertemu denganmu.”

Senyuman manis itu kini terlihat lagi setelah 2 tahun berlalu. Dulu aku sering mencuri pandang padanya. Aku terpaku lama memandang wajahnya, tanpa sadar Yusuf berdiri dibelakangku dan mataku mulai mecarinya. Yusuf kembali menepuk pundakku.

“Apa kau mencariku?”

Ya Tuhan, wajahku memerah dan aku merasa malu sekali pada Yusuf.

“Maaf Yusuf, aku hanya masih tidak percaya bisa bertemu kau lagi”
“Aku ingin mengajakmu jalan hari ini, dan biar kita bisa lebih mengenal lagi satu sama lain”.
“Baiklah”.
“Ini pakailah helmnya, dan naik berbocen
gan denganku”.


Malam harinya di kamarku

Aku terbaring di kasur sambil menatap langit-langit ruang kamarku. Tidak tahu mengapa aku tersenyum-senyum sendiri seolah-olah semua masalahku hilang ditelan badai. Aku senang jalan-jalan keliling kota bersamamu hari ini Yusuf. Ternyata kau masih bisa memikatku lagi seperti 2 tahun yang lalu. 2 tahun setelah tamat SMA dan tak bertemu lagi setelahnya sampai saat ini. Walaupun tidak ditakdirkan kenal diwaktu dahulu, tapi dibalik semua itu Tuhan telah memberikan rencana lebih indah pada waktu sekarang.
“Waaaaa… Yusuf, hahaha.”

Setelah 2 bulan berlalu, sejak pertemuan di dekat jembatan penyebrangan, aku dan Yusuf terus berhubungan. Enta itu melalui telepon ataupun bertemu langsung. Tapi hal ini masih belum kuceritakan kepada Sari sahabatku, sampai nanti tiba waktunya.


Minggu pagi
Zzzzttt… Zzzzttt…
Handphoneku bergetar, segera kuangkat tanpa melihat kelayarnya. Aku tahu yang meneleponku itu Yusuf.
“Iya, hallo Yusuf?”
“Ini aku Sari, siapa Yusuf?”
“Oh, Sari. Maaf ya, aku pikir Yusuf temanku.”
“Aku mau ke rumahmu hari ini. Adakah kau, om dan tante di rumah?
“Tumben, ada apa dengan kau Sari?”
“Jawab saja pertanyaanku, kau ini!”
“Iya ada, datang saja bila kau mau”.
“Baiklah, siang ini jam 2”.

Tut…tut…tut… Sari langsung menutup teleponnya. Aku heran mengapa tiba-tiba dia meneleponku terlebih dahulu kalau dia mau datang ke rumah. Dan tiba-tiba juga menanyakan keberadaan orang tuaku. Padahal biasanya dia langung datang begitu saja ke rumahku, terkadang tanpa sepengetahuanku dia sudah ada didalam kamarku.


Siang jam 2

Tok…tok…tok… Suara seseorang mengetuk pintu rumah, terdengar dari kamarku. Terdengar pula suara ibu menyambut tamu itu dari dalam. Ibu segera berjalan kearah ruang tamu untuk membukakan pintu. Tak seperti biasanya, ibu tidak memanggilku sama sekali. Aku pikir itu tamu ibu. Biasanya di hari minggu ini hanya ada Sari atau teman-temanku yang  lain yang datang ke rumah.

Aku masih menunggu kedatangan Sari, sudah sepuluh menit berlalu sejak kedatangan tamu di rumah. Kemudian terdengar langkah kaki Ibu mendekat ke kamarku.

Tok…tok…

“Naruni…”
“Masuk saja bu, tidak dikunci”.

Ibu masuk dan menghampiriku dengan wajah berbinar namun serius.

“Naruni, ada yang mau bertemu denganmu nak, tetapi ibu harap kau jangan terkejut nanti.”
“Memangnya kenapa bu? Seperti mau menemui presiden saja.”
“Ya sudah sekarang kamu siap-siap dan pakai baju ini.”
Kok pakai acara ganti baju sih bu? Heran!”
“Sudahlah jangan banyak bicara, turuti saja kata-kata ibu. Jangan lupa rambutmu diikat.”

Ya, seperti biasa, kalau di rumah rambutku panjang terurai tanpa disisir sama sekali.

Tidak lama kemudian aku keluar kamar menuju ruang tamu. Sungguh suatu hal yang tidak kusangka-sangka, mataku tertuju pada sesosok lelaki manis yang pernah kudambakan, dia berdiri menyambutku bersama ketiga orang lainnya. Dua orang yang asing dan seorang lagi yang tak asing  bagiku yaitu Sari.
“Sari, mengapa kau bisa disini bersama mereka?”
“Sudahlah, ayo duduk dulu.”

Ibu memperkenalkanku kepada kedua orang asing tersebut. Mereka pun memperkenalkan diri. Seperti mimpi, mereka berdua adalah kedua orang tua Yusuf.

“Maaf Naruni, aku tidak membertahumu soal ini sebelumnya, tapi ini diluar rencanaku, aku membawa kedua orang tuaku untuk membicarakan pernikahan kita.”
“Maksudnya kau mau melamarku? Tapi mengapa?”
“Karena aku ingin serius denganmu, aku tidak ingin pacaran yang hanya membuang-buang waktu.”
“Seyakin itukah kau denganku?”
“Tak butuh waktu lama untuk mengenalmu, Naruni…”

Dan untuk lebih meyakinkan hal itu, kedua orang tuanya pun membicarakan hal ini denganku di depan orang tuaku dan Sari. Ya, Sari, ternyata dialah dalang dari semua ini. Dia yang mengenalkan dan mempertemukan aku dengan Yusuf. Selama 2 tahun ini menjadi sahabatnya, tidak pernah aku ketahui bahwa dia adalah sepupu dari Yusuf.

“Sari, kau tidak pernah cerita bahwa kau ada sepupu bernama Yusuf!”
“Apa semuanya harus kau ketahui? Kau juga tak pernah sedikit pun bercerita tentang Yusuf!”
“Itu… Itu…” Kerongkonganku seakan terhalang batu. “Maaf Sari, tapi….”
“Sudahlah, bukan masalah bagiku, yang penting sekarang aku senang melihatmu.”
“Terima kasih Sari. Sebenarnya aku hanya butuh waktu yang tepat untuk menceritakannya padamu”

Aku segera menghampiri Sari dan memeluknya.


Malam Harinya

Setelah pembicaraan serius itu berlangsunng, aku, Sari, ibuku dan ibunya Yusuf mempersiapkan makan malam di rumah. Sedangkan Yusuf, ayahku dan ayahnya melanjutkan obrolan mereka. Terpancar  rona bahagia di wajah kami, terutama aku. Aku tidak menyangka secepat ini. Dan bagaikan punguk merindukan bulan, akhirnya kudapatkan lelaki idamanku yang kuidam-idamkan sejak SMA.

Hari ini juga Robi menghubungiku kembali lewat sms. Isinya, dia meminta maaf kepadaku atas sikapnya waktu itu. Dia merasa bersalah telah mencampakkanku dan memilih gadis lain. Ternyata gadis yang dipacarinya adalah seorang janda yang mengaku gadis. Tapi sudah sejak saat itu pula aku telah memaafkan Robi. Dan sekarang kami pun memutuskan untuk berteman baik.

Disaat makan malam berlangsung, ada seseorang lagi yang datang ke rumah, dia Erwin pacarnya Sari. Sari sudah mengaku padaku, sekarang dia tidak mau mengoleksi pacar yang banyak lagi, cukup satu dan itu Erwin. Aku senang dengan keputusan yang dibuat Sari, karena aku pun mengenal Erwin dengan baik.

Setelah makan malam yang menyenangkan tadi, kami berkumpul kembali di ruang tamu. Aku duduk disebelah Yusuf. Yusuf menyodorkan tangannya yang berisikan sebuah kotak kecil kepadaku. Dan saat aku membuka hadiah itu didepan mereka, aku tersenyum dan langsung menatap wajah Yusuf.  Ternyata itu adalah cincin pernikahan kami nanti.

“Terima kasih ya, Yusuf, kau sungguh telah membuatku bahagia lahir ke dunia ini”.
“Aku sayang kamu, Naruni”.

Dan semua pun tersenyum bahagia untuk kami.

Terima kasih Tuhan, semua memang indah pada waktunya...

#Cerpen Mungil Deka  ^___^
-cerita ini hanya fiktif belaka- 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar