Cerpen
Senyum mekar di pagi itu mengalahkan kembangnya bunga di kutub selatan, terlihat indah dan manis sambil menatap Kiona. Terik mentari mulai menyambut kedipan mata Kiona yang sedari tadi silau di sapanya dari luar jendela. Seperti biasa, ibu membangunkan putrinya itu secara membuka jendela kamar yang tepat berhadapan arah timur.
Senyum mekar di pagi itu mengalahkan kembangnya bunga di kutub selatan, terlihat indah dan manis sambil menatap Kiona. Terik mentari mulai menyambut kedipan mata Kiona yang sedari tadi silau di sapanya dari luar jendela. Seperti biasa, ibu membangunkan putrinya itu secara membuka jendela kamar yang tepat berhadapan arah timur.
“Ayo bangun Nana, udah jam berapa nih, nanti kamu terlambat masuk sekolah,” suara
lembut ibu terdengar semangat membangunkan Kiona.
“Hoaaam, iya bu, aku sudah bangun nih,” jawab Kiona setelah sebelumnya menguap dan menggeliat
“Mandi, lalu sarapan ya, di
meja makan sudah ibu sediakan nasi goreng.”
Waktu menunjukkan pukul 06.45
WIB, hal wajib dilakukan untuk bersiap-siap mandi, sarapan dan mencium ibu sebelum
menuju ke sekolah. Sarapan pagi yang lazim ditemui mulai menghendaki masuk ke kerongkongan Kiona.
Nama komplitnya Kionaristi, gadis yang lahir tepat di tanggal pernikahan kedua orang tuanya. Namun ibunya lebih sering memanggilnya dengan Nana, panggilan sayang untuk Kiona.
Nama komplitnya Kionaristi, gadis yang lahir tepat di tanggal pernikahan kedua orang tuanya. Namun ibunya lebih sering memanggilnya dengan Nana, panggilan sayang untuk Kiona.
Dia tinggal bersama keluarga kecil di bawah atap
sederhana hasil keringat ayahnya. Kiona kini duduk
di kelas X, di salah satu SMA swasta di kotanya. Sejak pertama mengenyam bangku sekolah, selalu ibu yang mengurusi semua kebutuhannya. Dari
saat itu juga ayahnya bekerja di luar
kota, pulang bisa dihitung tiga kali dalam setahun, dan
hanya memantau keadaan Kiona dari jauh.
Mulai dari bangun pagi, makan, pakaian, perlengkapan sekolah dan semua-muanya disediakan serta disiapkan oleh ibu, namun
tak lepas dari tanggung jawab ayah. Tak ada guratan letih di wajah ibu,
beliau tampak selalu terlihat cantik diusianya yang baru lima tahun yang lalu menginjak kepala tiga. Kiona anak pertama dan
terakhir, dengan kata lain dia adalah anak
tunggal bagi kedua orang tuanya. Kiona selalu terima beres dengan pekerjaan rumahnya, semua dikerjakan ibu. Meskipun begitu, tak jarang juga dia membantu ibunya di rumah.
Setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah ibu selalu
mencium dan memeluk Kiona, sebaliknya Kiona pun mencium kedua pipi ibunya.
Aroma tubuh ibu yang khas membuat Kiona ingin cepat-cepat pulang ke rumah karena rindu. Ibu
menjadi salah satu inspirasi Kiona, dalam hal berpakaian, rambut, dan model
sepatu yang ibu kenakan bila berbelanja
ke pasar tradisional ataupun ke tempat-tempat lainnya. Ibu terlihat cantik dengan rambut yang diikat kebelakang, sedikit poni miring yang menutupi alis sebelah kirinya. Kiona pun sering berpenampilan seperti ibunya kemana pun dia ingin pergi. Saking keinginannya menjadi seperti ibu,
dia berpikiran ingin menikah muda, kelak jika
memiliki anak masih diusia yang muda seperti ibunya.
**
Teng…teng…teng…
Lonceng sekolah tanda usai telah berbunyi, murid murid di SMA Kiona pun
berhamburan. Mereka semua seperti semut yang berbaris dan bergerombol bila dilihat dari
kejauhan. Biasanya Kiona tidak mampir kemana-mana selain langsung pulang ke rumah. Tak sabar membayangkan masakan apa yang telah menantinya di rumah. Dinding lambungnya terasa ditusuk-tusuk dengan garpu.
“aduuuh, perutku sabar ya…
Sebentar lagi sampai ke rumah nih…,” Kiona
menggerutu sambil mengusuk-ngusuk perutnya yang terlapis seragam sekolah.
Kiona pulang ke rumah dengan menaiki angkot, begitu pun saat pergi ke sekolah. Jarak yang di tempuh dari sekolah ke
rumah kurang lebih hanya satu kilometer. Sesampainya
di rumah, didapati ibu sedang berbicara dengan ayah melalui telepon rumah. Setelah itu ibu memanggil Kiona sambil menggawaikan tangannya.
“Sini Nana!”
“Iya bu,” jawab Kiona sambil
mendekati ibu yang duduk disebelah meja telepon
di ruang tamu.
“Ini ayahmu mau bicara denganmu,” sambil memberikan gagang teleponnya.
Pembicaraan Kiona dan ayahnya
di telepon tidak lain menanyakan keadaan Kiona. Hal lain biasanya ayah
menanyakan adakah yang ingin Kiona minta atau butuhkan, itu pasti akan di belikan ayahnya lalu
dikirim langsung ke rumah. Nampak kerinduan di wajah Kiona akan kepulangan ayahnya. Dan kali ini Kiona meminta ayahnya untuk pulang.
**
Hari demi hari berlalu,
permintaan kepada ayahnya terakhir di telepon sepertinya belum akan menjadi
kenyataan saat itu. Minggu pagi itu Kiona duduk didepan meja riasnya, dia menggerutu sambil melihat ke cermin.
“Aku hanya ingin ayah hidup bersamaku… Mungkin ayah hanya akan pulang bila aku meninggal!”
Tiba-tiba mata Kiona
terbelalak, sejenak kerongkongannya tersentak, tangannya langsung mengangkat menghempas ke dada.
“Ya Tuhan, pikiran macam apa
ini! Tak seharusnya aku berkata seperti itu. Ya Tuhan, tolong jangan di jamah perkataanku
barusan…” pinta Kiona dengan wajah ketakutan sendiri di
depan cermin.
Kemudian Kiona berlari keluar kamar, dia mencari
ibunya yang saat itu berada diruang keluarga sedang menonton acara masak di televisi, dan langsung memeluknya. Hal itu tidak mencurigakan ibu, karena biasa dilakukan mereka setiap hari. Ibu tersenyum sambil
menatap Kiona, setelah itu mereka sama-sama menonton televisi berdua.
**
Tiga hari setelahnya, tak ada angin, tak ada hujan, ibu Kiona
jatuh sakit. Seketika itu pula dengkul Kiona terasa lemas, dia
tidak langsung bersiap-siap pergi ke sekolah, dia memilih
tetap menemani ibunya. Kiona langsung menelepon ayahnya untuk mengabarkan keadaan ibunya.
Beberapa jam kemudian ayahnya
sampai ke rumah dan langsung memeluk Kiona yang saat itu tepat berada di sisi
ibunya. Ayah juga menggenggam jari jemari ibu.
“Ayah! Kenapa ayah baru datang saat ibu sakit? Ibu demam tinggi sejak tadi pagi ayah.”
“Maaf nak, ayah baru bisa
pulang, mulai sekarang ayah rela menjual saham ayah disana dan pindah ke kota ini bersama kalian,
ayah menyesal selalu jauh dari kalian karena lebih mementingkan pekerjaan.”
“Iya ayah, terima kasih. Aku
lega sekali mendengarnya. Sekarang bagaimana ibu, ayah? Tadi kami berdua sudah sempat pergi ke dokter, suhu badan ibu tak kunjung turun.”
Ketika itu juga ibu yang berada disamping Kiona menggenggam erat tangannya, berselang beberapa detik kemudian ibu terpejam. Ibu menutup matanya yang indah dan tak bisa ditatap lagi oleh Kiona untuk
selama-lamanya. Ibu meninggal.
“Ibu! Ibu! Aku sayang padamu bu! Tidak apa-apa ayah jauh, asal ibu tetap didekatku, ibu!”
“Sabar sayang, tolong ikhlaskan ibumu.” Ayah
berusaha menenangkanku yang saat itu berusaha terlihat ikhlas ditinggalkan ibu, meski tersirat penyesalan teramat dalam. .
14.00 WIB, Rabu siang itu hujan tiba-tiba turun mengiring titisan air mata Kiona. Dia teringat kembali perkataannya tiga hari yang lalu, namun kenyataannya ayah
pulang ketika ibunya yang meninggal. Dalam hatinya berkata, “Ya Tuhan,
engkau benar-benar menjamah
pintaku, tapi karena kau lebih memilih ibu. Dan kali ini hamba mohon jamahlah
pintaku, aku ingin engkau menjaga ibuku disana, berikan tempat
terindah untuk ibu, Tuhan…”
Dan sekarang Kiona hidup bersama ayahnya, tak ada lagi ibu yang membangunkannya setiap pagi, tak ada ibu yang menyiapkan semua kebutuhannya, tak ada lagi ciuman dan pelukan ibu. Yang ada hanya ayah, yang kini benar-benar selalu berada di sisinya. Selamat datang ayah, selamat jalan ibu.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar