Minggu, 02 Desember 2012

Selamat Datang Ayah, Selamat Jalan Ibu

Cerpen

Senyum mekar di pagi itu mengalahkan kembangnya bunga di kutub selatan, terlihat indah dan manis sambil menatap Kiona. Terik mentari mulai menyambut kedipan mata Kiona yang sedari tadi silau di sapanya dari luar jendela. Seperti biasa, ibu membangunkan putrinya itu secara membuka jendela kamar yang tepat berhadapan arah timur. 
“Ayo bangun Nana, udah jam berapa nih, nanti kamu terlambat masuk sekolah,” suara lembut ibu terdengar semangat membangunkan Kiona.
“Hoaaam, iya bu, aku sudah bangun nih,” jawab Kiona setelah sebelumnya menguap dan menggeliat
“Mandi, lalu sarapan ya, di meja makan sudah ibu sediakan nasi goreng.”

Waktu menunjukkan pukul 06.45 WIB, hal wajib dilakukan untuk bersiap-siap mandi, sarapan dan mencium ibu sebelum menuju ke sekolah. Sarapan pagi yang lazim ditemui mulai menghendaki masuk ke kerongkongan Kiona. 

Nama komplitnya Kionaristi, gadis yang lahir tepat di tanggal pernikahan kedua orang tuanya. Namun ibunya lebih sering memanggilnya dengan Nana, panggilan sayang untuk Kiona. 

Dia tinggal bersama keluarga kecil di bawah atap sederhana hasil keringat ayahnya. Kiona kini duduk di kelas X, di salah satu SMA swasta di kotanya. Sejak pertama mengenyam bangku sekolah, selalu ibu yang mengurusi semua kebutuhannya. Dari saat itu juga ayahnya bekerja di luar kota, pulang bisa dihitung tiga kali dalam setahun, dan hanya memantau keadaan Kiona dari jauh. 

Mulai dari bangun pagi, makan, pakaian, perlengkapan sekolah dan semua-muanya disediakan serta disiapkan oleh ibu, namun tak lepas dari tanggung jawab ayah. Tak ada guratan letih di wajah ibu, beliau tampak selalu terlihat cantik diusianya yang baru lima tahun yang lalu menginjak kepala tiga. Kiona anak pertama dan terakhir, dengan kata lain dia adalah anak tunggal bagi kedua orang tuanya. Kiona selalu terima beres dengan pekerjaan rumahnya, semua dikerjakan ibu. Meskipun begitu, tak jarang juga dia membantu ibunya di rumah.

Setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah ibu selalu mencium dan memeluk Kiona, sebaliknya Kiona pun mencium kedua pipi ibunya. Aroma tubuh ibu yang khas membuat Kiona ingin cepat-cepat pulang ke rumah karena rindu. Ibu menjadi salah satu inspirasi Kiona, dalam hal berpakaian, rambut, dan model sepatu yang ibu kenakan bila berbelanja ke pasar tradisional ataupun ke tempat-tempat lainnya. Ibu terlihat cantik dengan rambut yang diikat kebelakang, sedikit poni miring yang menutupi alis sebelah kirinya. Kiona pun sering berpenampilan seperti ibunya kemana pun dia ingin pergi. Saking keinginannya menjadi seperti ibu, dia berpikiran ingin menikah muda, kelak jika memiliki anak masih diusia yang muda seperti ibunya.

**

Teng…teng…teng
Lonceng sekolah tanda usai telah berbunyi, murid murid di SMA Kiona pun berhamburan. Mereka semua seperti semut yang berbaris dan bergerombol bila dilihat dari kejauhan. Biasanya Kiona tidak mampir kemana-mana selain langsung pulang ke rumah. Tak sabar membayangkan masakan apa yang telah menantinya di rumah. Dinding lambungnya terasa ditusuk-tusuk dengan garpu.
“aduuuh, perutku sabar ya… Sebentar lagi sampai ke rumah nih…,” Kiona menggerutu sambil mengusuk-ngusuk perutnya yang terlapis seragam sekolah. 

Kiona pulang ke rumah dengan menaiki angkot, begitu pun saat pergi ke sekolah. Jarak yang di tempuh dari sekolah ke rumah kurang lebih hanya satu kilometer. Sesampainya di rumah, didapati ibu sedang berbicara dengan ayah melalui telepon rumah. Setelah itu ibu memanggil Kiona sambil menggawaikan tangannya.
“Sini Nana!”
“Iya bu,” jawab Kiona sambil mendekati ibu yang duduk disebelah meja telepon di ruang tamu.
“Ini ayahmu mau bicara denganmu,” sambil memberikan gagang teleponnya.
Pembicaraan Kiona dan ayahnya di telepon tidak lain menanyakan keadaan Kiona. Hal lain biasanya ayah menanyakan adakah yang ingin Kiona minta atau butuhkan, itu pasti akan di belikan ayahnya lalu dikirim langsung ke rumah. Nampak kerinduan di wajah Kiona akan kepulangan ayahnya. Dan kali ini Kiona meminta ayahnya untuk pulang.

**

Hari demi hari berlalu, permintaan kepada ayahnya terakhir di telepon sepertinya belum akan menjadi kenyataan saat itu. Minggu pagi itu Kiona duduk didepan meja riasnya, dia menggerutu sambil melihat ke cermin. 
“Aku hanya ingin ayah hidup bersamaku… Mungkin ayah hanya akan pulang bila aku meninggal!”
Tiba-tiba mata Kiona terbelalak, sejenak kerongkongannya tersentak, tangannya langsung mengangkat menghempas ke dada.
“Ya Tuhan, pikiran macam apa ini! Tak seharusnya aku berkata seperti itu. Ya Tuhan, tolong jangan di jamah perkataanku barusan…” pinta Kiona dengan wajah ketakutan sendiri di depan cermin.
Kemudian Kiona berlari keluar kamar, dia mencari ibunya yang saat itu berada diruang keluarga sedang menonton acara masak di televisi, dan langsung memeluknya. Hal itu tidak mencurigakan ibu, karena biasa dilakukan mereka setiap hari. Ibu tersenyum sambil menatap Kiona, setelah itu mereka sama-sama menonton televisi berdua.

**

Tiga hari setelahnya, tak ada angin, tak ada hujan, ibu Kiona jatuh sakit. Seketika itu pula dengkul Kiona terasa lemas, dia tidak langsung bersiap-siap pergi ke sekolah, dia memilih tetap menemani ibunya. Kiona langsung menelepon ayahnya untuk mengabarkan keadaan ibunya.
Beberapa jam kemudian ayahnya sampai ke rumah dan langsung memeluk Kiona yang saat itu tepat berada di sisi ibunya. Ayah juga menggenggam jari jemari ibu.
“Ayah! Kenapa ayah baru datang saat ibu sakit? Ibu demam tinggi sejak tadi pagi ayah.”
“Maaf nak, ayah baru bisa pulang, mulai sekarang ayah rela menjual saham ayah disana dan pindah ke kota ini bersama kalian, ayah menyesal selalu jauh dari kalian karena lebih mementingkan pekerjaan.”
“Iya ayah, terima kasih. Aku lega sekali mendengarnya. Sekarang bagaimana ibu, ayah? Tadi kami berdua sudah sempat pergi ke dokter, suhu badan ibu tak kunjung turun.”

Ketika itu juga ibu yang berada disamping Kiona menggenggam erat tangannya, berselang beberapa detik kemudian ibu terpejam. Ibu menutup matanya yang indah dan tak bisa ditatap lagi oleh Kiona untuk selama-lamanya. Ibu meninggal.
“Ibu! Ibu! Aku sayang padamu bu! Tidak apa-apa ayah jauh, asal ibu tetap didekatku, ibu!”
“Sabar sayang, tolong ikhlaskan ibumu.” Ayah berusaha menenangkanku yang saat itu berusaha terlihat ikhlas ditinggalkan ibu, meski tersirat penyesalan teramat dalam. .

14.00 WIB, Rabu siang itu hujan tiba-tiba turun mengiring titisan air mata Kiona. Dia teringat kembali perkataannya tiga hari yang lalu, namun kenyataannya ayah pulang ketika ibunya yang meninggal. Dalam hatinya berkata, “Ya Tuhan, engkau benar-benar menjamah pintaku, tapi karena kau lebih memilih ibu. Dan kali ini hamba mohon jamahlah pintaku, aku ingin engkau menjaga ibuku disana, berikan tempat terindah untuk ibu, Tuhan…”

Dan sekarang Kiona hidup bersama ayahnya, tak ada lagi ibu yang membangunkannya setiap pagi, tak ada ibu yang menyiapkan semua kebutuhannya, tak ada lagi ciuman dan pelukan ibu. Yang ada hanya ayah, yang kini benar-benar selalu berada di sisinya. Selamat datang ayah, selamat jalan ibu.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar