“Hei!
Tatap mataku dan katakan jika memang kau tidak mencintaiku lagi”.
“Aku
tidak mencintaimu lagi!” Sambil menatap tajam mataku.
“Enyahlah
kau dari hadapanku!”
“Ya, itu
mauku! Dan asal kau tahu, aku telah memiliki pacar baru yang lebih darimu dari segi apapun.”
“Aku tak
peduli, kita lihat saja nanti bagaimana aku!”
“Aku tahu
bagaimana kau nanti, pasti akan menangisiku berhari-hari kan?”
“Enak
saja, siapa kau! Mulai detik ini perasaanku hilang untukmu!”
“Dan
sejak saat bertemu Naruni, perasaanku memang tidak ada untuknya!”
“Kau
jahat!”
“Yang penting aku sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan kau. Aku muak, sudah kubilang jangan terlalu mencintai aku!”
“Wajar,
karena kau pacarku.”
“Tapi
sekarang tidak lagi.”
“Baik,
kalau itu mau kau, mengapa tidak enyah dari tadi!”
“Aku pergi! Selamat menangisiku!”
“Dasar
bodoh!”
Suasana
di tepi gang saat itu tiba-tiba menjadi kelabu, dan Robi pergi begitu saja. Aku berjalan
menunduk menuju ke rumah sambil menggerutu. Pantas saja beberapa minggu ini dia tidak pernah mau menjemputku kuliah lagi, dia tidak mau mengangkat telepon dan membalas sms ku. Tidak ada waktu untukku sama sekali. Ternyata dia seperti
ini. Dia bilang
kalau selama ini tidak ada perasaan sama sekali untukku? Jadi apa artinya selama 3
bulan ini?! Dia jahat! Sama sekali tidak punya perasaan! Apa salahku? Memangnya dia siapa, mengira aku akan menangis karenanya. Dasar bodoh! Aku bisa tanpa dia, aku
akan buktikan aku bisa berguna bagi nusa, bangsa, dan agama,loh? hahaha.
Hanya selang beberapa menit, aku pun telah berada di depan pintu rumahku. Aku masuk dan menutup pintu rapat-rapat. Kemudian masuk kamar dan mengunci pintunya. Aku muak, Aku langsung loncat ke kasurku dan tidur pulas.
Hanya selang beberapa menit, aku pun telah berada di depan pintu rumahku. Aku masuk dan menutup pintu rapat-rapat. Kemudian masuk kamar dan mengunci pintunya. Aku muak, Aku langsung loncat ke kasurku dan tidur pulas.
Aku, si
keras kepala dan tidak teguh pendirian. Memiliki keinginan kuat namun setengah matang. Melakukan semua hal diawali dengan semangat dan hampir selalu berhenti ditengah-tengah. Suka menunda-nunda pekerjaan, dan menganggap remeh semua hal. Seakan-akan dapat diselesaikan
secara mudah. Tapi di sisi lain aku adalah gadis yang manis, baik dan pengertian. Aku suka menambah pengetahuan dengan membaca. Ya, sedikit gambaran watak dan sifatku yang sangat menyukai namaku sendiri, Naruni.
Pagi hari di kampus
“Aku
putus.”
“Sudah
kuduga, dari awal aku tidak menyukai Robi, sudah terlihat
dia tidak mencintaimu. Lelaki kurus, tinggi, jangkung, berkaca mata seperti Superman nyasar!”
Sari
terlihat senang
menyambut hal ini. Rasanya aku ingin marah pada diriku sendiri, mengapa aku begitu bodoh sampai dibutakan cinta pada Robi, untungnya hubungan kami belum terlalu lama, hanya 3 bulan saja. Aku
menyukai Robi karena dia tinggi, pintar, dan salah satu anak aktif di BEM Universitas
kami. Namun semua itu tidak menentukan sifat seseorang. Awalnya dia perhatian dan baik kepadaku. Aku tak
menyangka dia telah berbuat begini, atau mungkin dia cepat bosan? Ah, sudahlah, semua itu tak
penting lagi, pikirku.
“Maaf
Sari, seandainya aku pun melihat itu, takkan seperti ini jadinya”, dengan nada menyesal.
“Jangan disesali Naruni, mudah saja mencari lelaki seperti
Robi, lagian masih ada si Wanto.”
“Kamu mengejekku? Aku tidak mau mencari, nanti juga datang sendiri.”
“Itu kan
katamu, haha”, sembari merangkulku.
“Tertawa
saja terus…” aku melepaskan tangan Sari dari pundakku dan pergi meninggalkannya menuju ke kantin.
“Hei,
hei, tunggu aku!” Sari merangkulku kembali.
Sari
adalah salah satu sahabatku yang kukenal sejak pertama menjadi seorang mahasiswi di Universitas di kotaku ini. Kemana-mana
selalu ada aku dan Sari. Terkadang aku iri dengannya, dia yang memiliki tubuh
bagus, wajah cantik dan terlihat sempurna. Tetapi
beberapa hal yang
tidak kusukai darinya, dia teramat mudah menyukai lelaki, memiliki banyak
pacar, dan moodnya cepat sekali
berubah. Walau begitu
aku tetap sayang
dia sebagai sahabatku. J Kalau dibandingkan aku, aku jauh dengan Sari. Tapi tidak sedikit juga teman-temanku bilang kalau aku ini seorang gadis yang manis, meski perawakanku tidak terlalu tinggi, namun kulitku putih, badanku berisi dan sesuai jika
memakai pakaian model apapun.
Esoknya di
Perpusatakaan Fakultas
Seperti
biasa saat ada jam kosong aku memanfaatkannya untuk pergi ke perpustakaan. Menambah wawasan dengan membaca buku tentang kesusastraan sesuai dengan jurusanku, dan buku-buku ilmu lainnya. Disana Sari
masih saja menggodaku
soal pacar baru. Dia terus memintaku untuk segera mencari pacar. Aku tahu semua itu dilakukannya agar disetiap hari minggu aku tidak mengganggu waktu kencannya. Karena seperti pengalaman sebelumnya saat aku sedang single, aku selalu meminta Sari meluangkan waktu untuk datang ke rumahku di hari minggu. Namun walaupun begitu terkadang Sari selalu dengan senang hati memenuhi permintaanku. Dia sering datang ke rumah dengan tiba-tiba tanpa sepengetahuanku. Meski tidak setiap hari Minggu ia datang ke rumah.
“Naruni…
ayolah cari pacar baru, atau mau kubagi pacarku?”
“Enak
saja!" Sambil memalingkan muka. "Sudah kubilang aku tidak akan mencari, nanti juga datang sendiri. Kalau ada yang benar-benar mau denganku, menikah sekarang pun aku berani!”
“Kalau begitu terima saja si Wanto, dia kan tidak jelek-jelek
amat, dia juga
orang kaya.”
“Orang tuanya yang kaya, lagian aku tidak suka dia. Dia sombong dengan semua yang dimilikinya.”
“Wajar
karena begitu kenyataanya, dia kaya. Tapi orang tuanya tidak korupsi toh? Dia kaya karena keturunan.”
“Ya
sudah, kalau begitu
kau saja yang menikah sama dia.”
Zzzzzttt…
Zzzzzttt…
Tiba-tiba
handphoneku bergetar karena panggilan masuk. Pembicaraan kami pun terhenti dan aku langsung mengangkat teleponnya.
“Ya, hallo?”
Suara
disana menyambut, “Adakah waktu jam 2 siang ini?”
“Siapa
ya?”
“Aku
Yusuf, Naruni. Adakah waktu jam 2 siang ini untukku?”
“Yu…Yusuf?”
“Iya, aku
Yusuf. Kita pernah satu SMA dulu.”
Nama ini
membuatku flashback 2 tahun lalu, dimana Yusuf adalah seseorang yang pernah aku sukai 3 tahun lamanya, semua itu berawal
disaat ospek SMA. Hingga di tahun pertama sekolah, kelasnya bersebelahan dengan kelasku. Tidak pernah ada obrolan diantara kami, sekalipun
bertegur sapa. Aku hanya tahu namanya dari temanku. Dan hanya senyuman manis itu pula yang masih membekas dibenakku. Ya, si Yusuf lelaki
idamanku di SMA dulu, kini tidak disangka-sangka meneleponku. Dan aku agak sedikit terpaku. Tersadar setelah Sari menepuk
pundakku.
“Naruni?
Siapa yang meneleponmu?”, dengan nada suara berbisik.
Aku tak
hiraukan Sari dan segera melanjutkan pembicaraan melalui telepon dengan Yusuf. Sejenak aku berpikir, apalagi yang ingin kukatakan padanya.
“Kau mau
menemuiku di dekat jembatan penyebrangan depan kampusmu?”
“Baiklah, aku mau.” Aku menjawab dengan tegas tanpa berpikir lagi.
“Sampai
nanti.”
Tut…tut…tut…
Sambungan telepon pun terputus. Aku masih tak percaya hal
ini, berani-beraninya ia datang lagi dikehidupanku setelah 2 tahun berlalu, dan aku telah
nyaris melupakannya. Saat kulihat jam ditanganku, waktu menunjukkan satu jam lagi aku akan bertemu dengan Yusuf.
“Hei
Naruni, kau kenapa? Seperti menerima telepon dari rentenir.” Tanya Sari heran.
“Aku
tidak apa-apa Sari. Oh ya, jam 2 siang ini aku tidak bisa pulang bersama kau ya”, aku tersenyum lebar kepada Sari.
“Nah loh,
ada apa ini? Kau tidak tersinggung dengan kata-kataku kan?”
Aku segera merangkul Sari, “Ya tidaklah, non. Bukan masalah itu sama
sekali. Kau itu kan sahabat terbaikku.”
“Kok wajahmu jadi merona seperti ini? Jangan-jangan…”
Sari mengira-ngira sesuatu tentangku. Dia menatapku curiga.
“Ssssttt, sudah diamlah, lihat itu Ibu Nurmi sudah melihat kita berdua.”
“Bisa
saja kau mengalihkan
pembicaraan, kasih tahu lah…”
“Nanti
ada saatnya.”
Aku
tersenyum padanya dan ia pun mengerti maksudku. Kami melanjutkan membaca dengan tenang.
Jam 2
siang, di dekat Jembatan Penyebrangan
Aku
sedikit gugup, badanku panas dingin. Sudah semenit aku disini, berdiri tepat didekat
tangga penyebrangan yang dimaksudkan di pembicaraan telepon tadi. Tidak lama
kemudian ada yang
menepuk pundakku.
“Sudah
lamakah menunggu
Naruni?”
Aku
menoleh ke belakang,
terlihat sosok Yusuf yang tinggi tegap, berperawakanan tenang. Wajahnya tidak berubah, hanya saja agak sedikit berjerawat
di pipi namun tetap terlihat manis.
“Kau
Yusuf?”
“Iya, apa
kabar Naruni, lama kita tidak bertemu kau makin manis.”
“Ah, yang benar. Kau tahu darimana nomor teleponku, dan sejak
kapan kau tahu nama dan sosokku?”
“Seseorang yang memberi nomormu padaku lewat salah
satu jejaring sosial. Dan aku tahu nama dan dirimu sejak SMA, saat
aku tak sengaja pernah mendengar teman-temanmu memanggil namamu. Aku tidak pernah berani berkenalan denganmu dulu.”
“Dan
sekarang mengapa kau tiba-tiba mau meneleponku? Kita kan tidak
pernah kenal, ya… meskipun dulu sempat satu SMA, tapi sekali pun kita tidak
pernah kenal.”
“Baiklah,
sekarang aku memperkenalkan diri. Hai namaku Yusuf, senang bertemu denganmu.”
Senyuman
manis itu kini terlihat lagi setelah 2 tahun berlalu. Dulu aku sering mencuri pandang padanya. Aku terpaku lama memandang wajahnya, tanpa sadar Yusuf berdiri dibelakangku dan mataku mulai mecarinya. Yusuf kembali menepuk
pundakku.
“Apa kau
mencariku?”
Ya Tuhan,
wajahku memerah dan aku merasa malu sekali pada Yusuf.
“Maaf
Yusuf, aku hanya masih tidak percaya bisa bertemu kau lagi”
“Aku ingin mengajakmu jalan hari ini, dan biar kita bisa lebih mengenal lagi satu sama lain”.
“Baiklah”.
“Ini pakailah helmnya, dan naik berbocengan denganku”.
“Ini pakailah helmnya, dan naik berbocengan denganku”.
Malam harinya
di kamarku
Aku
terbaring di kasur sambil menatap langit-langit ruang kamarku. Tidak tahu mengapa aku tersenyum-senyum sendiri seolah-olah semua
masalahku hilang
ditelan badai. Aku senang jalan-jalan keliling kota bersamamu hari ini Yusuf. Ternyata kau masih
bisa memikatku lagi
seperti 2 tahun yang lalu. 2 tahun setelah tamat SMA dan tak bertemu lagi setelahnya sampai saat ini. Walaupun tidak ditakdirkan kenal diwaktu
dahulu, tapi dibalik semua itu Tuhan telah memberikan rencana lebih indah pada
waktu sekarang.
“Waaaaa…
Yusuf, hahaha.”
Setelah 2
bulan berlalu, sejak pertemuan di dekat jembatan penyebrangan, aku dan Yusuf terus berhubungan. Enta itu melalui telepon ataupun bertemu langsung. Tapi hal ini masih belum kuceritakan kepada Sari
sahabatku, sampai nanti tiba waktunya.
Minggu pagi
Zzzzttt…
Zzzzttt…
Handphoneku
bergetar, segera kuangkat tanpa melihat kelayarnya. Aku tahu yang meneleponku itu Yusuf.
“Iya,
hallo Yusuf?”
“Ini aku
Sari, siapa Yusuf?”
“Oh,
Sari. Maaf ya, aku pikir Yusuf temanku.”
“Aku mau
ke rumahmu hari ini. Adakah kau, om dan tante di rumah?
“Tumben,
ada apa dengan kau Sari?”
“Jawab
saja pertanyaanku, kau ini!”
“Iya ada,
datang saja bila kau mau”.
“Baiklah,
siang ini jam 2”.
Tut…tut…tut…
Sari langsung menutup teleponnya. Aku heran mengapa tiba-tiba dia meneleponku terlebih dahulu kalau dia
mau datang ke rumah. Dan tiba-tiba juga menanyakan keberadaan orang tuaku. Padahal biasanya dia langung datang begitu saja ke rumahku, terkadang tanpa sepengetahuanku dia sudah ada didalam kamarku.
Siang jam 2
Tok…tok…tok…
Suara seseorang
mengetuk pintu rumah, terdengar dari kamarku. Terdengar pula suara ibu menyambut tamu itu dari dalam. Ibu segera berjalan kearah ruang tamu untuk membukakan pintu. Tak seperti biasanya,
ibu tidak memanggilku
sama sekali. Aku pikir itu tamu ibu. Biasanya di hari minggu ini hanya ada Sari atau teman-temanku yang lain yang datang ke rumah.
Aku masih
menunggu kedatangan Sari, sudah sepuluh menit berlalu sejak kedatangan tamu di rumah. Kemudian terdengar langkah kaki Ibu mendekat ke kamarku.
Tok…tok…
“Naruni…”
“Masuk
saja bu, tidak dikunci”.
Ibu masuk
dan menghampiriku dengan wajah berbinar namun serius.
“Naruni,
ada yang mau bertemu denganmu nak, tetapi ibu harap kau jangan terkejut nanti.”
“Memangnya kenapa bu? Seperti mau menemui presiden saja.”
“Ya sudah
sekarang kamu siap-siap dan pakai baju ini.”
“Kok pakai acara ganti baju sih
bu? Heran!”
“Sudahlah
jangan banyak bicara, turuti saja kata-kata ibu. Jangan lupa rambutmu diikat.”
Ya,
seperti biasa, kalau di rumah rambutku panjang terurai tanpa disisir sama sekali.
Tidak
lama kemudian aku keluar kamar menuju ruang tamu. Sungguh suatu hal yang tidak kusangka-sangka, mataku tertuju pada sesosok lelaki manis yang pernah kudambakan, dia berdiri menyambutku bersama
ketiga orang lainnya. Dua orang yang asing dan seorang lagi yang tak asing bagiku yaitu Sari.
“Sari,
mengapa kau bisa disini bersama mereka?”
“Sudahlah,
ayo duduk dulu.”
Ibu
memperkenalkanku kepada kedua orang asing tersebut. Mereka pun memperkenalkan diri. Seperti
mimpi, mereka berdua adalah kedua orang tua Yusuf.
“Maaf
Naruni, aku tidak membertahumu soal ini sebelumnya, tapi ini diluar rencanaku,
aku membawa kedua orang tuaku untuk membicarakan pernikahan kita.”
“Maksudnya
kau mau melamarku? Tapi mengapa?”
“Karena
aku ingin serius denganmu, aku tidak ingin pacaran yang hanya membuang-buang waktu.”
“Seyakin
itukah kau denganku?”
“Tak
butuh waktu lama untuk mengenalmu, Naruni…”
Dan untuk
lebih meyakinkan hal itu, kedua orang tuanya pun membicarakan hal ini denganku di depan orang tuaku dan Sari. Ya, Sari, ternyata dialah dalang dari semua ini. Dia yang mengenalkan dan mempertemukan aku dengan Yusuf. Selama 2 tahun ini menjadi sahabatnya, tidak
pernah aku ketahui bahwa dia adalah sepupu dari Yusuf.
“Sari,
kau tidak pernah cerita bahwa kau ada sepupu bernama Yusuf!”
“Apa
semuanya harus kau ketahui? Kau juga tak pernah sedikit pun bercerita tentang Yusuf!”
“Itu…
Itu…” Kerongkonganku seakan terhalang batu. “Maaf Sari, tapi….”
“Sudahlah,
bukan masalah bagiku,
yang penting sekarang aku senang melihatmu.”
“Terima
kasih Sari. Sebenarnya aku hanya butuh waktu yang tepat untuk menceritakannya padamu”
Aku segera menghampiri Sari dan memeluknya.
Malam Harinya
Setelah pembicaraan serius itu berlangsunng, aku, Sari, ibuku dan ibunya Yusuf mempersiapkan
makan malam di rumah. Sedangkan Yusuf, ayahku dan ayahnya melanjutkan obrolan
mereka. Terpancar rona bahagia di wajah kami, terutama aku. Aku tidak menyangka secepat ini. Dan bagaikan punguk merindukan bulan, akhirnya kudapatkan lelaki
idamanku yang
kuidam-idamkan sejak SMA.
Hari ini
juga Robi menghubungiku kembali lewat sms.
Isinya, dia meminta maaf kepadaku atas sikapnya waktu itu. Dia merasa
bersalah telah mencampakkanku dan memilih gadis lain. Ternyata gadis yang dipacarinya adalah seorang janda yang mengaku gadis. Tapi sudah sejak saat itu pula aku telah
memaafkan Robi. Dan sekarang kami pun memutuskan untuk berteman baik.
Disaat
makan malam berlangsung, ada seseorang lagi yang datang ke rumah, dia Erwin pacarnya Sari. Sari sudah mengaku padaku, sekarang dia tidak mau mengoleksi pacar yang banyak lagi, cukup satu dan itu Erwin. Aku senang dengan keputusan yang dibuat Sari, karena aku pun mengenal Erwin dengan baik.
Setelah
makan malam yang
menyenangkan tadi, kami berkumpul kembali di ruang tamu. Aku duduk disebelah Yusuf. Yusuf menyodorkan
tangannya yang berisikan sebuah kotak kecil kepadaku. Dan saat aku
membuka hadiah itu didepan mereka, aku tersenyum dan langsung menatap wajah Yusuf. Ternyata itu adalah cincin pernikahan kami
nanti.
“Terima
kasih ya, Yusuf, kau sungguh telah membuatku bahagia lahir ke dunia ini”.
“Aku
sayang kamu, Naruni”.
Dan semua
pun tersenyum bahagia untuk kami.
Terima
kasih Tuhan, semua memang indah pada waktunya...
#Cerpen Mungil Deka ^___^
-cerita ini hanya fiktif belaka-
-cerita ini hanya fiktif belaka-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar