1. Diantara
puluhan ribu kali kedipan mata, terselip berjuta rasa kerinduan. Entah harus
mulai darimana sejarah kasihmu. Yang kuingat, senyum manis selalu tertoreh
setiap menatapku dulu. Wajah berseri itu tersembunyi dalam lamunanku kini.
Benar
pepatah bilang, Kasih Ibu
sepanjang masa. Dan benar pula bahwa kini kasih ibu tinggal kukenang disepanjang masa.
2. Emas, permata, dan berlian takkan
sanggup membayar betapa berharganya kala bersamamu. Apalagi kebersamaan kita di lima bulan
terakhir. Riak suka duka kita arungi bersama, di atas ranjang khas rumah sakit di sana. Lima bulan terakhir, engkau lakoni skenario Tuhan sebagai protagonis yang penyabar. Sabar akan sakitmu.
3. Entah berawal darimana, sakit itu
tiba-tiba menggegorogoti kesehatanmu. Bagai ditikam belati, rasanya sakit melihatmu seperti ini. Selama didiagnosa, tidak ada satu dokter pun yang memberi jawaban pasti tentang apa nama penyakitmu.
Berkantung-kantung darah telah dialirkan melalui selang yang terpasang rapi di salah satu rangkain urat nadimu. Namun, nikmat kesehatan hanya dirasakan beberapa hari
saja. Kemudian tubuhmu terkulai lemas lagi. Begitu seterusnya selama lima bulan
terakhir.
4. Berjuta cerita kami torehkan saat berada di kamar rumah sakit tempat
ibu di rawat. Termasuk salah satunya aku
mendapatkan seorang teman baru, di kamar yang berisikan lima pasien lebih itu. Dia juga sedang merawat ibunya.
Setiap ada kesempatan, kami berdua berbagi cerita tentang ibu dan hal-hal lainnya. Katanya, sudah tiga tahun lebih ibunya mengidap penyakit struk. Sekarang hanya bisa makan dan tidur saja. Hal
apapun dilakukan ibunya di atas ranjang rumah sakit.
Melihat dirinya sangat semangat menjaga dan menemani ibunya, aku turut merasakan hal yang sama.
5. Seminggu kemudian, ibunya itu dipindahkan ke kamar lain.
Belum terhitung 24 jam, suara isak tangis perlahan-lahan merangkak ke telingaku. Ya, itu suara temanku. Ternyata ibunya meninggal dunia. Sejenak aku terpaku. Kulihat dia dari luar kamar. Aku turut berduka cita atas kepergian ibunya. Spontan dibenakku tergambar jelas wajah ibuku. Aku
membayangkan berada di posisinya.
6. Buru-buru aku berlari menuju ibu.
Berlari dan berlari. Hatiku terus memanggil-manggil ibu.
Lalu kupeluk engkau sambil menangis. Air mata pun menyusul jatuh di pipimu sambil mengusap air mata di pipiku.
Aku menatapnya penuh harap, berkata,
“Ibu harus semangat untuk sembuh, bu….”
“Iya, Nak. Ibu ‘kan berusaha
menyemangati diri ibu untuk sembuh.”
Aku terus memeluk ibu hingga tertidur lelap didekapannya.
7. Dirumah sakit berbeda, ada cerita
lain melekat didinding ingatanku. Satu hari yang membuat penyeselanku terbangun ‘tika mengingatnya. Aku merajuk dan pergi meninggalkan ibu seharian penuh. Aku menghabiskan waktu menyusuri jalan yang tak tahu kemana ujungnya. Wajahku merah padam penuh amarah kepadamu. Dan bodohnya lagi, aku marah sebab yang sepele.
8. Setelah seharian penuh menyusuri jalan, aku kembali ke rumah sakit. Aku masuk ke kamar rawat tanpa mengindahkanmu, ibu.
Hingga malam tiba, kemarahanku belum reda. Akhirnya, aku menumpang tidur di kamar tempat kakak temanku dirawat.
Jarum jam terus berputar ke arahnya,
mataku belum dapat terpejam. Hati dan pikiranku terlelap bersamamu. Ketika
jarum jam tepat di angka 6, aku mulai tersadar dan mengkhawatirkan keadaanmu. Perlahan kaki
ini melangkah ke kamar rawatmu, dan mendapatimu sedang sarapan pagi. Aku tidak berbicara sepatah kata pun, untuk menoleh saja malu.
9. Suaramu terdengar memecah hening diantara pasien yang masih banyak tertidur pulas,
“Nak, kamu masih marah pada ibu?
Sebenarnya, ibu sama sekali tidak mau merepotkanmu dengan selalu merawat ibu di rumah sakit. Ini adalah kali terakhir ibu mau
di rawat disini. Kelak, ibu tak akan lagi merepotkanmu seperti ini.” Katamu
sambil memegang kue yang baru separuh digigit. Tanpa pikir panjang aku langsung mendekap, menangis tersedu-sedu memohon maafmu. Dalam hati, aku sungguh menyesal semalam saja tidak bersamamu.
“Maafkan aku bu….”
“Iya, Nak. Kamu jangan marah lagi ya sama ibu.”
“Aku sayang ibu.”
10. Wajahmu lebih terlihat pucat pasi. Kuku-kuku di jarimu memutih. Biasanya, engkau
selalu ingin melakukan semua hal sendiri, sekalipun sedang terbaring lemah. Kali ini benar-benar tak berdaya. Untuk ke kamar mandi saja harus
dipapah. Hatiku mulai berdebar kencang mengkhawatirkan keadaanmu.
Ya
Allah… Mohon sembuhkanlah ibu hamba.
11. Beberapa teman wanita ibu datang menjenguk. Mereka semua mengenakan jilbab panjang bercadar. Buah tangan tak lupa mereka letakkan di meja samping ranjang ibu.
Tak hanya mendoakan, mereka juga mengajarkan ibu cara menjaga sholat ketika sakit. Diawali dengan bertayamum, kemudian sholat dengan bacaan seperti biasa, dan gerakan-gerakan dalam berbaring. Aku memperhatikannya hingga melekat diingatanku.
12. Berikutnya, bila waktu sholat tiba, aku yang membimbing ibu menjalankannya.
Engkau masih semangat beribadah dalam keadaan sakit. Beruntung, Allah sangat menyayangimu. Ibu adalah orang yang paling tabah dan sabar yang pernah aku miliki di dunia ini.
*Bersambung
Teks/gambar : -Deka-